Beberapa hari terakhir bagi saya seolah-olah seperti momen untuk flashback. Flashback, merenungi kembali apa yang saya alami dalam sekian tahun terakhir: kehidupan pribadi, bisnis dan karir, termasuk keluarga dan pertemanan.

Iya, memang mellow bagi saya. Belum tentu bagi kamu, duhai pembaca setia blog saya (ciee).

Tapi semisal kamu akan melakukan perjalanan jauh, yang mana ada resiko tidak kembali, maka sekarang ini adalah waktu terbaik untuk menghitung kembali telah seberapa jauh kamu melangkah, seberapa banyak kebermanfaatan yang kamu sebarkan, dan seberapa berlimpah bekal yang akan kamu bawa.

Tanpa kamu sadari, kehidupanmu akan berputar dengan sendirinya di hadapanmu. Apa yang telah kau jalani, apa yang telah kau perbuat, dan apa yang telah kau tinggalkan bagi orang-orang di sekitarmu. Dan pertanyaan paling mendesak bagi mereka yang sampai pada fase ini adalah: Seperti apakah engkau akan dikenang?

Mungkin ini yang membuat takut orang-orang yang membayangkan ajal. Ketika ia telah tak ada, apakah orang-orang membicarakan kebaikan-kebaikannya? Atau justru sebaliknya, keburukannyalah yang dikenang. Tapi, bagi sebagian yang lain, menjadi “tidak dikenang” justru menjadi hal yang paling menyakitkan daripada digunjing karena keburukannya.

Sehingga kadang, perasaan seperti ini yang mendorong seseorang sekuat tenaga berusaha menjalin kedekatan dengan orang lain. Sekecil apapun dan yang paling sepele sekalipun, menjadi sangat bermakna. Karena siapa tahu, perbuatan sepele itu justru membawa keberuntungan besar baginya sebelum sesuatu yang disesali benar-benar terjadi.

Seperti membantu mengambilkan bulpen yang terjatuh. Meminta maaf karena tidak membalas whatsapp tepat waktu. Atau sekedar merespon komentar-komentar dengan bijak di media sosial. Hal-hal yang diharapkan jadi penuh makna, tapi akhirnya malah lebay.

Pernah di suatu tes CPNS, saya mencoba berbaik hati mengambilkan bulpen yang terjatuh. Mak kluthik, bunyinya. Saya melihat ke asal suara. Ada gadis berhijab yang berusaha mengambil sesuatu. Sebagai gentleman, spontan dong saya bantu.

Saya lakukan dalam gerak slow-motion, lalu memasang senyum termanis yang saya punya.. Seperti di drama Korea dimana yang menerima bulpen adalah gadis cantik yang kemudian jatuh hati karena senyumnya..

Lalu si gadis menunjuk ke orang di sebelahnya, “Punya Mas itu..” Dan yang menerima adalah cowok. Brewok pula. Hnggh, koen..

Pengalaman seperti ini yang kadang membuat saya geli, tapi juga ngéman. Iya, ngéman-émani. Betapa banyak kejadian yang dulu membuat saya tertawa, tapi saat ini bersedih akibat tak bermuatan kebaikan apa-apa. Dulu banyak tertawa, sekarang menyesal tiada guna.

Rupanya, banyak kejadian yang membuat saya kaya secara pengalaman, tapi miskin secara pengamalan.

Betapa banyak kejadian yang dulu membuat saya sedih, kecewa, marah.. Tapi justru menjadi tawa setelah mengingat betapa bodohnya saya saat itu. Bodoh karena menyadari, pada titik nadir seperti ini, semua kenangan jadi tak berarti apa-apa. Lalu, buat apa saya emosional saat itu?

Kenangan-kenangan itu menjadi tak berarti, karena hanya orang lain yang mampu mengenang saya, sedangkan saya tidak. Bukan tidak mau. Tapi tidak bisa. Toh pada akhirnya mereka akan melupakan saya.

Banyak hal yang bisa saya tertawakan dalam hidup. Sekaligus membuat saya bertanya, apakah hal-hal tersebut mampu membuat saya siap untuk menghadapi kehidupan setelah mati?

Mungkin pertanyaan ini terdengar klise. Tapi bagi saya saat ini, mampu membuat saya merenungi kembali apa yang telah dan sedang saya tinggalkan. Dan satu-satunya rekam jejak yang tidak hilang terbawa masa, adalah semua postingan di media sosial.

Media sosial menjadi alat terbaik untuk menyimpan memori-memori yang, bahkan kita sendiri tak mampu mengingatnya. Senang maupun sudah. Bahagia maupun getir. Baik maupun buruk.

Tidak berlebihan rasanya jika sebuah jurnal psikiatri forensik, menyebutkan bahwa media sosial adalah sumber depresi generasi masa kini. Akibat foto-foto lama di media sosial mampu dikelola sedemikian rupa untuk menjatuhkan nama baik seseorang karena masa lalunya.

Sehingga saat ini saya mereview kembali apa yang telah saya muntahkan di media sosial, blog maupun fesbuk, jangan-jangan terlalu banyak postingan bodoh daripada yang bermanfaat. Postingan yang justru tidak punya nilai amal kebaikan sama sekali.

“Duh Gusti. Kulo nyuwun pangapunten..”

Kalimat semirip dengan itu yang pada akhirnya saya posting di fesbuk beberapa saat lalu. Postingan yang tidak pernah saya pikirkan dampak panjangnya. Eh lha kok komentarnya beragam.

Yang lucu, ada di antara komentator itu yang menulis kalimat semacam, “Kalau mau ngomong sama Tuhan, ya jangan di medsos..”

Haha, iya, sih. Saya nggak berpikir sampai sejauh itu. Saat itu mungkin saya sebagaimana anak alay lainnya, yang menggunakan media sosial sebagai media curhat, mengumpat, or whatever you said, yang pada intinya berusaha mencari perhatian.

Saya minta maaf karena tanpa saya sadari, telah berubah menjadi anak alay. Wkwk.

Tapi jumlah likes & respons yang (menurut saya) terlalu banyak untuk “umpatan useless dan worthless” semacam itu, sungguh mengagumkan. Sebegitu besarnya kah efek postingan saya kepada orang-orang yang ada di friendlist saya?

Iseng-iseng lagi, saya posting sesuatu yang (menurut saya) lebih bermanfaat. Saya coba amati responnya. Ee, hanya lima likes. Beda banget sama postingan sebelumnya. Hey folks, what’s wrong with you, people? Saya posting something worthed than before, you know.

Satu-satunya penjelasan masuk akal (menurut saya) adalah, publik akan merespon sesuatu yang otentik, orisinil, dan tidak dibuat-buat. Semakin dibuat-buat, responnya semakin kurang.

Mm.. Kira-kira, darimana publik tahu bahwa itu adalah postingan jujur atau dibuat-buat? Entahlah.

Saya tidak sedang berminat untuk menyibukkan diri dengan apa kata orang. Tidak akan ada habisnya. Meskipun kata guru saya, branding dan citra diri di jaman sekarang ini penting untuk memasifkan penjualan. Ah, sudahlah, Pak. Nanti saja kita bahas lagi.

Satu-satunya pertanyaan yang tersisa saat ini, bagi saya, adalah.. Dengan semua model respons & comments itu, apakah mereka sudi mendoakan saya, jika saya telah benar-benar berada di tempat berbeda dengan mereka? Saya berharap tentunya dengan doa yang terbaik.

Sehingga mereka bersedia memaafkan kesalahan-kesalahan saya, dan menjadi saksi di hadapan Tuhan bahwa saya banyak memberi kebermanfaatan bagi mereka.

Saya pun berdoa, semoga siapapun yang pernah terlibat dalam hidup saya, secara langsung atau tak langsung, apakah ia teman, sahabat, saudara, keluarga, dan orang yang tak dikenal sekalipun.. Yang membawa kebahagiaan, maupun kesedihan..

Siapapun itu, diampuni dosa-dosanya oleh Allah, diselamatkan dari siksa dunia-akhirat, dimuliakan dirinya dan keluarganya di dunia-akhirat, sehingga pada akhirnya dimasukkan ke dalam surgaNya tanpa hisab.

Jika tidak ada saya di surgaNya, tolong sebut nama saya, nggih. Sebut nama saya di hadapan Tuhan: Hafid Algristian bin Suwanto.

Insya Allah kita semua bertemu kembali di surgaNya dalam keadaan terbaik