image

Cupu!

Itulah hal pertama yang muncul saat saya membaca judul tulisan ini. Cupu. Padahal saya sendiri yang nulis, lho. Saya sampe jijik plus heran baca tulisan saya sendiri.

Dan memang, judul ini sengaja saya tujukan buat kamu-kamu yang lagi kasmaran. Buat kamu-kamu yang lagi jatuh cinta. Buat kamu-kamu yang sedang larut dalam gairah.

Buat kamu yang sedang cari jodoh, entah dengan maksud serius ataukah main-main. Buat kamu yang sedang menjajaki pasngan hidup, entah benar-benar berakhir di pelaminan atau berakhir di ranjang.

Maap saya harus kasar sekarang.

Karena saya ngga habis pikir, di jaman seperti sekarang ini, kelakuan kita masih dan masih saja seperti pendahulu kita. “Pendahulu” di sini bukan nabi, melainkan monyet.

(Oii, saya bukanlah penganut Darwin –bahkan saya menolak habis-habisan teori itu—namun kelakuan kita sendirilah yang menegaskan bahwa pendahulu kita adalah monyet. Bukan nabi.)

Mau tau buktinya?

Lihat sekitar kita. Bersolek untuk menarik perhatian. Menggunakan feromon buatan untuk menarik lawan jenis. Saya tidak menentang penggunaan semua benda-benda untuk mempercantik/mempertampan diri, saya hanya menentang penggunaan berlebihan di balik itu.

Yakni sekali lagi untuk menarik lawan jenis. Lalu, apa bedanya kita dengan –maap—binatang?

Inilah yang membuktikan kita sedang tidak lolos dalam seleksi alam. Bahkan kita sendiri masih monyet! Monyet yang bersolek.

Cari jodoh, cari pasangan, cari teman hidup, adalah fitrah. Sudah pada insting dasarnya manusia membutuhkan pendamping. Yang membedakan kita dengan binatang adalah caranya.

Bagaimana cara yang tepat? Ah, saya tidak ingin banyak berceramah di sini. Yang ingin saya kutip adalah kalimat Pak Mario Teguh. Seperti inilah kalimatnya,

“Mencari jodoh bukan soal mengejar ataupun dikejar. Melainkan soal kepantasan diri. Pantaskah saya mendapatkan dia? Maka, kalau Anda ingin mendapatkan jodoh yang terbaik, pantaskanlah diri Anda. Jikalau memang Anda meyakini jodoh berada di tangan Tuhan, maka pantaskanlah diri Anda di hadapanNya.”

Paham maksudnya?

Saya harap kita semua paham.

Kurang lebihnya seperti itulah kata-kata Pak Mario Teguh. Saya sedang kasar sekarang, dan kalau boleh saya menyimpulkan, gampangnya pesan Pak Mario Teguh seperti ini:

Ngaca, woi!

Seperti itulah. Bukan ngaca sesama manusia, melainkan ngaca di hadapan Tuhan. Jodoh seperti apa yang engkau dapat, adalah persis seperti dirimu sekarang.

Jadi, mau ngejar apa dikejar? Bukan dua-duanya.

Melainkan pantaskanlah dirimu untuk mendapatkan jodoh yang terbaik.

Setuju? Sudah, setuju aja lah!

… .

NB: ada beberapa teman yang berujar, “Jodoh itu berada di tangan Tuhan, makanya harus kita ambil biar jadi jodoh kita.” Woi! Ambil aja kalau berani! Coba liat hasilnya. Jadi enggak? Kalaupun jadi, langgeng enggak? Kalaupun langgeng, bisa nggak dia membentuk keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah, yang bisa melahirkan generasi-generasi penerus yang baik? Jangan-jangan cuma bikin rusuh aja di bumi. Trus anak-cucunya melahirkan generasi-generasi yang nggak beda jauh ama moyangnya. Akhirnya, jadilah mereka generasi amburadul.

NB(2): Maap saya sedang kasar. Saya sedang kesal. Kenapa? Ya karena masalah cemen seperti ini yang ternyata—semenjak saya mendaftar sebagai residen psikiatri—banyak yang curhat sama saya. Apapun itu, saya siap membantu. Karena memang itu tugas saya.

Dan satu pesan saya, “NGACA, WOI..!”

NB(3): saya juga bukan orang baik. Dan saya masih belajar ngaca sekarang. yuk, ngaca sama-sama! saling koreksi, saling mengingatkan dan memperbaiki.

… .