Napasnya satu-satu. Wajahnya menyeringai, seolah melihat sesuatu yang menyeramkan di sana. Bola matanya telah membalik ke arah atas, sehingga hanya sebagian besar sklera putihnya yang kini tampak kemerahan menahan sakit. Ruhnya tercabut, dan saya ’sukses’ mendampingi pasien saya pergi untuk selamanya.
Mengiba dan mengharap. Sempat tertangkap setitik embun yang merembes di ujung pipinya. Ada berjuta-juta cinta di mata sang suami itu. Melihat kami yang sedang melakukan resusitasi, berusaha membuat nenek ini bernapas kembali. Kami tahu itu tidak mungkin. Dan saya yakin pak tua itu juga mengerti bahwa tidak mungkin kami menuntut Tuhan yang sejak awal telah menggenggam jiwa nenek ini.
Adrenalin sudah masuk. Potassium zuur sudah menetes pada batas kecepatannya. Tidak ada tanda-tanda kejang maupun depresi saluran napas. Airway bebas. Ambulatoir bag terpompa optimal. Pada siklus ke enam pijat jantung, cek denyut nadi leher, kosong. Tidak ada denyut. Adrenalin masuk lagi. Saya tidak ingat seberapa cepat kami melakukan resusitasi, tapi dalam sedua menit kecepatan cahaya, sang isteri ini menarik napas sekali, seluruh otot tubuhnya menegang, bola matanya membalik ke atas. Reflek pupil negatif. Reflek kornea juga negatif.
Kami berhenti. Kawan saya segera menangkap tangan pak tua yang mendadak terduduk, menunduk, menangis sejadi-jadinya. Seluruh dinding bangsal rawat inap ini bergemuruh, melantunkan dering-dering kesedihan, lonceng duka yang bertalu-talu. Demikian pilu siang itu. Sinar matahari yang membentuk taju-taju pedang menerobos jendela tak mampu mencerahkan suasana bangsal ini.
Pak tua kami papah menjauhi bed isterinya, keluar ruangan. Dia menyeret langkahnya, enggan. Sebelah tangannya berusaha meraih sesuatu dalam saku celananya, sementara yang lain mengusap air mata yang sedari tadi mengucur deras. Pantang bagi seorang lelaki menangis seperti ini.
Klotak… Handphonenya terjatuh, perlahan diambilnya sambil gemetar. Dibantu kawan saya mencari nomor kontak di buku telepon, lalu berkata, “Halo… Nak, ibu wes ga ono (Nak, ibu sudah tiada)…”
Saya tidak sanggup mengikuti kawan-kawan memapah pak tua itu. Saya diam di ujung ruangan, memandang kosong luka di kaki kiri nenek ini. Luka gangren. Luka yang khas pada penderita kencing manis. Baru tadi pagi luka ini dibersihkan sejawat bedah kardiovaskular, jaringan-jaringan yang rusak dibuang, dua jari yang nekrosis diamputasi. Hari ini sejawat bedah kardiovaskuler telah menyingkirkan semua jaringan mati yang sangat mengganggu, dan luka itu kini tampak bersih kemerahan. Pembuluh darah telah demikian dekat untuk memberi makan jaringan yang lain.
Tapi pembuluh darah itu telah demikian lelahnya menanggung beban yang berat: darah terlampau pekat, gelap, lengket. Kandungan gula dan zat-zat kotor yang tak mampu lagi dikeluarkan tubuh, menggenangi seluruh bagiannya. Viskositasnya terlalu besar, sehingga sangat sulit meresap ke sel-sel yang berada di ujung. Nutrisi dan oksigen jadi tak tersampaikan. Padahal sel-sel yang ujung tadi membawa peran yang sama besarnya untuk sel-sel yang ada di dalam. Sel itu bisa berupa sel otak yang paling ujung, sel jantung, paru-paru, ginjal, hati, limpa, lambung… dan jika semuanya mengalami kerusakan, maka kecil kemungkinan merespon pada obat yang diberikan.
Pak tua sudah berada di samping saya. Meraih pinggiran bed, tertatih untuk mencari posisi duduk. Rupanya dia berontak untuk kembali menemui isterinya. Saya canggung, saya geser saja kursi kecil untuknya. Pak tua itu menangkupkan seluruh wajahnya di pinggiran bed, terisak, membiarkan semua air matanya menggenang di ujung sprei. Dia sudah tidak sanggup menahan dan berpura-pura kuat di depan isterinya.
Sudah lima puluh empat tahun mereka menikah. Lima puluh empat tahun pula mereka melewati masa-masa itu, suka dan duka jadi satu, pahit dan getir, manis semanis madu. Saat semua rasa itu dipadu, hanya indah yang terkenang. Meski matanya sudah tak sanggup lagi menangkap paras isterinya sebaik dulu, meski telinganya sering tak jelas mendengar suara isterinya, meski jemarinya tak dapat merasa lembut kulit isterinya, dia ingat betul bagaimana kecantikan isterinya membuatnya nyaman, bagaimana suaranya membuatnya betah berlama-lama mendengar keluh kesahnya, dan bagaimana dia menyeka seluruh tubuh isterinya saat waktunya bersih diri. Dan semua kenangan itu sekarang tersimpan dalam catatan Tuhan, yang suatu saat tercabut dari ingatan pak tua itu.
Pak tua itu hanya ingin terus mengenang isterinya, dan berharap selalu dapat menyebut namanya dalam tiap doanya. “Semoga saat saya meninggal tidak dalam keadaan pikun, sehingga masih bisa menyebut nama Allah, dan berdoa supaya kembali dipertemukan isteri saya di sana,” itu yang dibisikkannya saat saya menggosok punggungnya yang penuh peluh.
“Saya belum sempat bilang bahwa saya sangat sayang padanya…”
Hati saya bergemuruh.
… .
IBSN adalah sebuah wadah insan Indonesia dalam jaringan internet
dengan berbagai jenis blog platform yang memiliki konsep keindahan
berbagi berbagai hal bermanfaat untuk kebaikan pada sesama,
dengan tujuan untuk membuat hidup ini makin bermakna.
visit Indonesians’ Beautiful Sharing Network
8 August 2009 at 9:08 am
wah pertamax aja mas… 😀
komen di sela2 ngejar dedline 😀
LikeLike
8 August 2009 at 10:49 am
keren
blue suka dan bangga sama abang kita ini
and…………postingannya kapan yah blue bisa seperti sedemikian hehehe….
salam hangat selalu
met berakhir pekan ya
LikeLike
8 August 2009 at 11:44 am
ikutan komeng aja deehh… salam ganteng!!
LikeLike
8 August 2009 at 1:02 pm
sosok yg sangat kuat dan bersahaja..
masi bisa bertahan dan berjuang dalamkerasnya hidup…
orang2 seperti ini pantas mendapat kebahagiaan
LikeLike
8 August 2009 at 8:44 pm
Mas, tulisannya terlalu kecil. Hehehehe
Hati gw juga ikut bergemuruh mas jadinya….
LikeLike
9 August 2009 at 2:18 am
sebenarnya.. ini adalah salah satu cinta sejati,
cinta yg hakiki bukan dari materi maupun body..he.he.he..
yg kita harapkan adalah cinta seperti mereka cinta hingga mati..
sampe kakek kakek dan nini nini…
wah.. sample yg bagus kehidupan suami istri jaman sekarang nih..
nice artikel bro.. dramatisss..
salam kenal…
ditunggu komen bro di blogku..
thanks..
LikeLike
9 August 2009 at 9:55 am
Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabat terchayank
I Love U Fuuuuullllllllll
LikeLike
9 August 2009 at 10:16 pm
IBSN.. wadah buat para blogger kreatip n penuh dedikasi memajukan Indonesia raya. Merdekaa!~!!
LikeLike
10 August 2009 at 7:58 am
ah, hafidh…
kamu sukses membuatku menangis pagipagi…
kehilangan dan ditinggalkan itu pahit… dan kegetiran itu kamu tangkap dengan baik…
LikeLike
10 August 2009 at 9:38 am
berkunjung lagi dipagi yang cerah..
salam sukses bro..
thanks..
LikeLike
10 August 2009 at 5:33 pm
Allahumma inna nas aluka husnul khotimah wa na’udzubika min suil khotimah..
Terima kasih Mas Hafid telah berkunjung 🙂
LikeLike
11 August 2009 at 6:42 am
Terbayang betapa hancurnya hati si Bapak ditinggalkan kekasih tercinta…
Tapi ketetapan telah tertulis, jika waktu itu telah tiba, tak ada yang bisa menghalanginya…pelajaran buat kita yang masih ada…
Meskipun si Bapakbelum pernah mengungkapkan perasaannya,
tapi aku yakin si istri bisa merasakan cinta dan kasih sayang tulus dari Bapak.
Semoga kelak di “sana” Allah akan mempertemukan beliau berdua, amiin.
Terima kasih telah berbagi Fid…
LikeLike
11 August 2009 at 11:14 am
hua…. nangis… nangiss….
hmmm.. saya terlalu cengeng untuk hanya sekedar merasa sesak…
LikeLike
11 August 2009 at 11:45 am
terharu…T.T…
nice article, simple yet so touching..
LikeLike
12 August 2009 at 2:41 pm
cerita yang bagus…
😉
kehilangan sang kekasih tercinta memang berat, apalagi ada kata belum terucap, meskipun sang kekasih telah mengetahui dari tingkah laku dan perlakuan terhadapnya.
salam superhangat
LikeLike
14 August 2009 at 3:00 pm
nice, mas hafid..
bikin menangis… dan termenung…
LikeLike
28 August 2009 at 9:28 am
Tiba2 tertuntun kemari saat menata artikel lama. Rupanya blog ini masih aktif. Alhamdulillah.
Kisah ini membuat kelopak mata memanas dan berair. Tubuh rasa bergetar dan seolah ikut terangkat ringan melayang …
Kisah yg sangat menyentuh.
Selamat menjalankan ibadah puasa.
LikeLike