thank-you typedSaya tidak pernah lupa akan mata itu. Mata penuh harap. Mata mengiba. Mata yang tak berhenti bercucuran air mata. Sepasang mata yang tak berhenti mengamati saya bekerja. Sepasang mata yang tak mau lepas menatap saat jarum ini mulai memasuki pembuluh nadinya. Sepasang mata yang mengawasi kehati-hatian saya, saat harus mengambil contoh darah untuk pemeriksaan analisa gas darah.

Jika ada seseorang yang mengucapkan terimakasih, akan kamu jawab apa?
Oh, terimakasih kembali. Oh, sama-sama. Oh, tidak usah sungkan.
Oh, iya, kalau ada apa-apa bilang aja, ya.
Bagaimana jika ada seseorang yang baru saja kehilangan ibunya, sedangkan peristiwa kehilangannya di depanmu, lalu dia mengucapkan terimakasih?
Akan kamu jawab apa?

Meski pada akhirnya saya gagal, dia mau mengerti. Ibunya demikian gelisah, sehingga memasukkan jarum pada presisi yang tepat cukup sulit. Mengambil darah dari nadipun rasanya sangat sakit, lebih sakit daripada kanker yang kini menggerogoti tubuh ibunya.

Beliau datang sekitar dua puluh hari yang lalu, dan progressnya semakin memburuk. Kanker di payudara kiri, membuat kulitnya kasar seperti kulit jeruk, putingnya tertarik ke dalam. Demikian keras kulit itu, tidak seperti payudara pada umumnya. Kini daging sialan itu tumbuh menjalar ke tulang dadanya, menekan tenggorokan, napasnya sesak dan makin sesak. Oksigen yang kami berikan delapan-sepuluh liter per menit lewat masker pun percuma. Tapi lebih baik diberi oksigen murni dengan pengambilan yang minimum daripada udara biasa. Tak akan cukup, ibu ini tak akan pernah cukup.

Kami berusaha menjelaskan mengenai kondisi ibunya. Termasuk bagaimana peluang kesembuhannya. Kanker sudah menyebar kemana-mana. Daging itu membuat sumbatan kelenjar getah bening di ketiak sehingga lengan kirinya bengkak. Dia terlampau tega merusak hati, mengganggu picuan produksi trombosit dan albumin, sehingga darah bocor kemana-mana. Beberapa bagian kulitnya memar, tapi tidak dengan batas yang kontinyu. Titik-titik perdarahan itu tersebar seperti tinta yang dicipratkan sekenanya di atas kertas.

Ironisnya, daging tak berguna itu juga menyerang tulang belakangnya! Ada beberapa titik-titik rapuh di tulang dada belakang ke tujuh-delapan. Sehingga beliau tidak mampu duduk. Berguling-guling pun penuh kesakitan. Titik-titik rapuh itu perlu diwaspadai, siapapun tidak mau dia patah sehingga menyulitkan pengobatan. Tiap dua jam sekali ibunya harus dibolak-balik, berguling-guling dengan sangat hati-hati, untuk mencegah terbentuknya luka akibat berbaring lama.

Yang bisa kami lakukan adalah memberikan terapi sesuai keluhannya. Memberinya albumin dan transfusi trombosit pun percuma, karena fungsi hatinya sudah rusak, sedangkan albumin hanya bertahan dalam dua hari. Memberinya albumin dua hari sekali pun terlampau mahal, sekali transfusi harganya satu juta lima ratus rupiah! Meski beliau adalah peserta asuransi yang dijamin perusahaan, kami juga harus mempertimbangkan efektifitas nilai terapinya. Tentu saja, semua dengan pertimbangan keluarga.

Tepat adzan dhuhur berkumandang, beliau tiada. Karena depresi napas, dan napas bantuan yang kami berikan tidak cukup. “Sudah, Mas, ngga apa-apa,” dia menepuk bahu saya, dan meminta saya mundur. “Maap, ya. Saya turut berduka,” bibir saya tak mampu menumpahkan kata-kata lagi.

“Terimakasih, ya…” ucapnya sambil tersenyum.
Tidak ada tangis samasekali. Mungkin beberapa air matanya menggenang, tapi saya tidak melihatnya. Air matanya telah habis tiga hari yang lalu saat kami berusaha menjelaskan kondisi ibunya. Dia telah demikian tegarnya melepas kepergian sang ibu.

Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkan semua kepada kami, tim medis yang memberi perawatan kepada beliau. Dia mampu melawan semua ketidakberdayaannya dengan terus-menerus berada di samping ibunya, jika beliau membutuhkan sesuatu. Sejak awal dia tahu, dia mengerti, bukan kesembuhan ibunya yang dia inginkan. Tapi kebahagiaan ibunya di titik akhir jika memang beliau pada akhirnya dipanggil Yang Maha Kuasa.

Siang itu adalah siang yang benderang bagi siapapun di bangsal ini. Di atas kami hanya ada cahaya lampu, dan rasanya seterang matahari. Hati perempuan itu demikian hangat, demikian terbuka menyambut takdir Tuhan hari ini. Tidak mungkin kami melambatkan datangnya ajal, dan perempuan itu dengan segenap cintanya, melepas sang ibu ke haribaan Sang Kuasa.

“Terimakasih, ya…” dia tersenyum lagi kepada kami.

Tidak ada air mata.

Membalas senyumnya mungkin jawaban yang terbaik untuk saat ini.